Minggu, 14 Oktober 2012

SEJARAH PENYEMATAN GELAR ANDI BAGI BANGSAWAN BUGIS - MAKASSAR


Asal-usul gelaran andi yang disematkan di depan nama bangsawan bugis memang menjadi pertanyaan banyak orang. Bermacam-macam pendapat dari para sejarawan ataupun cerita orang-orang tua dulu tentang awal mula munculnya gelaran andi di dalam masyarakat bugis, namun belum ada yang dapat menunjukkan bukti atau sumber-sumber yang benar-benar dapat dijadikan rujukan mutlak.


Dari beberapa sumber-sumber yang kami dapatkan, maka dapat diuraikan secara ringkas tentang penggunaan nama Andi sebagai gelaran yang digunakan oleh para bangsawan Bugis.

Sebutan "Andi" adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwarisi hasil genetik (keturunan) Lapatau, pasca Bugis merdeka dari orang Gowa. "Andi" ini bermula ketika 24 Januari 1713 digunakan sebagai extention untuk semua keturunan hasil perkahwinan Lapatau. Lapatau dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan cucu Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa), Anak dan cucu Lapatau dengan puteri Raja Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes.
Perkahwinan tersebut sebagai usaha VOC untuk membina dan mengendalikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang berpotensi pasca perjanjian Bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly diminta tinggalkan bumi Sawerigading (Celebes).

Siapa yang menafikan kalau (Alm) Jeneral Muhammad Yusuf bukan bangsawan Bugis, tetapi beliau enggan memakai produk exlusivisme buatan VOC. Beliau sebenarnya orang Bugis genetik manurungngE ri Matajang. Siapa pula yang dinafikan bahawa Yusuf Kalla adalah bukan dari bangsawan Bugis tetapi beliau tidak memakai gelaran "Andi" kerana belia bukan turunan langsung Lapatau Matanna Tikka , melainkan beliau juga generasi ManurungngE ri Matajang.

Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selama ini  kerana belum ditemui catatan secara bertulis dalam "Lontara" tetapi ada baiknya juga dipaparkan sebagai salah satu rujukan penggunaan nama "Andi" tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah "Rompana Bone". Dalam menghadapi Belanda terbentuklah pasukan khas yaitu pasukan "Anre Guru Ana 'Karung" yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae. Dalam pasukan tersebut tidak di berikan  hanya kepada anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang ibu bapaknya mempunyai kedudukan di daerah masing-masing seperti anak-anak pabbicara'e, sulewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat to meredaka. Mereka mempunyai ilmu sebagai "Bakka Lolo dan Manu Ketti-Ketti". Anggota pasukan tersebut disapa dengan gelaran "Andi" sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang rela mati demi patettong'ngi alebbirenna Puanna (menegakkan kehormatan rajanya).

Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat menerima tamu yang mamakai gelaran "Andi" atau "Petta" dari daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan "Nigatu Wija idi 'Baco / Baso? (Anda keturunan siapa Baso / Baco?). Baso / Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki. Jika mereka menjawab "iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah hambanya Petta Pole)", maka Petta Imam Poke mengatakan "Koki Tudang ana baco / baso" (duduklah disamping saya) sambil menunjukkan berhampiran tempat duduknya, maka nyatalah bahawa "Andi" mereka pakai memang keturunan bangsawan pattola, cera dan rajeng, tetapi kalau jawapan Petta mengatakan "oohh, enreki mai ana baco" sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah "Andi" mereka pakai kerana geleran bagi anak ponggawa kampong (panglima) atau ana to maredeka yang pernah ikut dalam pasukan khas tersebut.

Dalam versi yang hampir sama, gelaran "Andi" pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan di depan nama beliau pada Tahun 1930 atas Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandakan Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar "Andi" didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.
Kelihatannya kita perlu membuka lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa'e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone kerana era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang berkenaan menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana 'Arung juga semakin sukar dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri Passalama'e Anre Gurutta HAPoke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar masjid Kingdom Bone) ...

Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya 'Bugis Weddings' (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkahwinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelaran Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Kerajaan Belanda pada tahun 1910-1920-an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan merundingkan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, kerana kerumitan proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sijil (mungkin sejenis sijil-sijil yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).

Penggunaan Andi saat itu juga pelbagai di setiap kerajaan. Soppeng misalnya hanya menetapkan bahawa gelaran Andi adalah bangsawan pada darjat keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan ketujuh.

Dari sumber seterusnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar Kebangsawanan "Datu" adalah gelaran yang sudah ada sejak adanya kerajaan Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebut Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau. Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di Goa yang bergelar Sombaiya.

Gelar kebangsawanan lain, mengikut kepada kerajaan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain. Jadi gelaran itu mengikut terhadap jawatan yang didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil Puang, dan di Luwu dipanggil Opu.
Adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara pelajar dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul.

Gelar "Andi" baru ada setelah era Kerajaan Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditakluk Belanda dan terjadi kekosongan kepemimpinan. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk Zelf Beestuur (Kerajaan Pribumi / swapraja) yang dibawahi oleh Controleur (Pejabat Belanda) untuk Onder Afdeling. Namun yang menjadi persoalan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah....? tapi juga harus diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelaran dan pilihan personal terhadap kemerdekaan / penjajahan.

Secara umum  Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin anang / kampung / wanua sebelum datangnya To Manurung / To Tompo. Pimpinan-pimpinan kampung ini yang selanjutnya disebut Kalula / arung dengan nama alias / gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama kampung / keadaan / perilaku berkenaan yang dia peroleh melalui pelantikan / pelantikan oleh sekumpulan anang / masyarakat dan secara kekerasan (peperangan bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia ditakluk dan diganti oleh penguasa yang lebih tinggi / kuat.

Sedangkan To Manurung dan To Tompo yang, 'asal usul' dan 'namanya' kadang-kadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekumpulan pimpinan Kalula / arung / matoa bersetuju untuk mengangkatnya menjadi ketua kumpulan dikalangan Kalula / arung yang selanjutnya menjadi penguasa / raja yang berarti pula asas dasar sebuah kerajaan / negara telah terbentuk-mana tanah / wilayah, pemimpin / penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah dipenuhi.

Penguasa / Raja biasanya kawin dengan sesama To Manurung / To Tompo (jika dia 'ada' / muncul tanpa didampingi pasangannya) dan pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal  yang sudah ada sebelumnya. Ketika kerajaan-kerajaan kecil tadi dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar, barulah perkawainan anak antar-kerajaan mulai diterapkan oleh Arung Palakka.


FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU)
(1871 - 1895)

We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru 'Rukka Arung Palakka menjadi mangkau' di Bone. Dalam khutbah Jumaat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa.

Yang menjadi tanda tanya adalah:

Apakah sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan nama / gelaran itu sebelumnya ......?
Mengapa kata 'Andi' yg digunakan / disepakati sebagai penandaan gelar bagi kaum bangsawan Sulawesi Selatan pada saat itu sampai dengan sekarang ......? Kenapa bukan Karaeng, Puang, Pung, Opu atau dan lain-lain ...........?

Urgensi tata cara pandangan dalam asal-usul Andi itu sebenarnya kerana tata cara pandang bergantung nara sumber data yang dimilki.

Perbedaan boleh kita lihat sebagai berikut yaitu :

Apabila yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahawa Andi adalah pemberian Belanda, tapi ini akan menimbulkan persoalan yiaitu: Apakah pemberian nama Andi di mana kedudukan bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro dan anti terhadap Belanda kerana baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang gelaran itu ...?, lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda ........?

Dari masalah  diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur.

Apabila data yang merujuk kerana istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap kerana sama setaraf juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan kerana contoh sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik Van paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun kerana banyaknya ketua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu hingga mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak hingga Banjar sukar menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota kerajan Kutai diberikan nama oleh masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sukar penyebutannya oleh masyarakat setempat menjadi Tenggarong.

Ini juga menjadi data tepat bahawa nama Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak boleh diucapkan dan akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda di mana orang-orang bule baik Belanda, Portugis hingga Inggris sukar menyebut huruf "R".

Data yg paling cukup kuat adalah bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara automats masyarakat luar melekatkan nama Andi depannya. menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki).

Dari beberapa uraian yang dipaparkan di atas mungkin sukar untuk mengambil kesimpulan asal-usul gelaran "Andi" bagi bangsawan bugis, namun yang terpenting adalah dengan membaca beberapa rujukan sekurang-kurangnya kita dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar